Living in The Present Time

Selamat siang Malang yang tetap dingiin!

Flashback setahun lalu waktu di rumah.
Kayaknya 2017 salah satu tahun ternano-nano yang akhirnya menjadi turning poin hidupku.
Hasilnya, cara pandangku terhadap hidup jadi lebih santai dan tidak ngoyo. Awalnya, it was not easy at all. Setelah lebih dari 7 tahun hidup di luar kota (kota besar) yang bisa memprovide apapun yang aku inginkan. Even sesimple kebab atau sate telur. Balik-balik kerumah, taraaaa, semuanya berubah. Harus atur ulang gaya hidup, pola pikir dan cara ngomong.

Rasanya apa ya, sedih waktu itu tidak ada temen ngobrol kayak di Malang atau Madiun. Temen di Pacitan udah pada fokus sama pekerjaan masing-masing. Ada satu sih, namanya Nurul. Sedesa juga cuma beda RT. Tapi ya tetep beda feelingnya. Dari dulu, aku adalah orang yang ngrasa, "kayaknya aku gak cocok tinggal sama orang tua". Kayak bete terus tiap hari dikit-dikit dapet omel dari Ibuk atau pas kerjaan lagi numpuk ada aja yang dilakukan adek dan bikin emosi naik maksimal.

What more, tuntutan sebagai anak pertama yang waktu itu aku berfikir dengan keras gimana caranya biar bisa cepet punya duit sendiri dan mandiri lepas dari dukungan Bapak. Jadi apapun yang aku lakukan akhirnya kerasa ambisius dan in rush. Baru mulai planing bikin les-lesan aja mikir bakal dapet untungya terlalu jauh. Eskpektasinya ketinggian. Tenaganya banyak kebuang percuma.

Yang waktu itu bikin kondisi tambah suck, gak ada temen ngobrol. Berasa single fighter pas lagi ada masalah tapi cuma bisa diem karena gak mungkin cerita ke orang rumah. Galau mendadak setiap ngeliat VLOG orang yang lagi maen bergerombol sama temen-temennya. Lha gua? sendiri dikamar. Mau maen tapi nyari temennya susah. Padahal dulunya ada anak cemara yang sekali chat langsung ada di depan kos. Apalagi Linggar yang waktu itu satu kos dan bikin hati tambah adem karena dia pasti bisa menenangkan sesampah apapun kondisiku,

Kembali ke desa ternyata sesuai dengan prediksiku di postingan ini. Susah.
Setahun dirumah rasanya lama banget. Apalagi waktu itu nunggu pengumuman PPG yang sama sekali tidak ada kabar. Bayangan akhirnya udah jauh ke masa depan. Bayangan bahwa nanti bakal kuliah lagi, dapet temen-temen lagi, tinggal dikota besar lagi (dimana orang-orang punya pemikiran yang lebih terbuka tentang perbedaan dan perubahan). Waktu itu, secara langsung Tuhan juga mengingatkan tentang kematian yang bisa datang kapanpun. Bahkan, sejam dari sekarang, sejam dari terakhir kita chat di grup, atau beberapa jam dari kita berjabat tangan dengan orang, kita tidak tau apa yang akan terjadi. Dan Tuhan menyadarkanku tidak hanya sekali, tapi 4 kali. 2 diantaranya dalam waktu bersamaan.

Cerita yang lain adalah tentang pernikahan. Banyak sekali teman-teman deket yang akhirnya menemukan pasangan hidupnya. Yang pas untuk mereka meski background keluarga berbeda. Mereka akhirnya ketemu dengan orang yang paham akan diri mereka lahir dan batin di waktu yang memang sudah pas.

Dan akhirnya, setelah aku melihat itu semua, setalah aku memproses semua pertanyaan yang came up di pikiran, setelah aku ngobrol sama orang-orang di kampung. Aku jadi melihat hidup dari sisi yang berbeda. Ternyata, hidup dengan terbebani masa lalu dan terlalu berekspektasi dengan masa depan yang gimana-gimana bakal bikin aku lupa bersyukur sama apa yang aku punya sekarang. Yang di detik ini nyata-nyata ada.

Waktu itu aku terlalu mikir masa lalu yang pernah ku alami di kota besar dengan segala fasilitas. Di lain sisi aku terlalu berangan-angan sama masa depan nanti akan seperti apa. Terlalu bermimpi tinggi. Iya benar, aku dulu idealis dan ambisius. Hal tersebut jadi bikin aku lupa menjaga dan mensyukuri apa yang aku punya waktu itu. Waktu aku bisa kumpul sama orang rumah. Waktu aku ketemu murid-murid. Waktu aku bisa ketemu orang-orang hebat yang ada di kampung. Aku lupa kalau aku punya itu semua. Kayak, hatiku masih aja gak ikhlas akhirnya balik ke kampung. Dan ternyata, hati yang tidak bisa menerima apa yang ada sekarang bikin langkah semakin berat.

Dari situ semua, dari pengalaman satu tahun di kampung akhirnya aku paham. It's all about living in the present time. Dengan menikmati semua yang ada sekarang, menjaga semua yang kita dapatkan di detik ini, tandanya kita bersyukur dan akan terus merasa cukup karena hati kita sudah bisa menerima. Menerima bahwa masa lalu hanya untuk kita ambil pelajarannya, dan masa depan hanya bisa kita jadikan mimpi dengan tidak memasukkan ambisi sama sekali.


Comments

Popular Posts