Corona dan Sebuah Titik Balik

Di awal tahun 2020, hal-hal yang dulunya adalah rutinitas berubah drastis menjadi sesuatu yang spesial. Tidak sedikit orang-orang yang akhirnya mikir, "kayaknya, selama ini hal-hal sepele yang ada di hidupku terlalu aku anggap remeh. I take it for granted."

Sebelum aku mencoba lihat "case" ini dari sudut pandang yang lebih luas, sepertinya aku harus mulai dulu dari ceritaku sendiri. Waktu itu aku sempet berfikir kenapa "kenyamanan" hidupku berubah jauh jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dulu meskipun hari-hari kadang berantakan, aku selalu menemukan tempat untuk beristirahat. Dari pertengahan 2019, aku harus pindah ke kota yang sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Aku punya keluarga dan bahkan rumah titipan orang tua disana, cuma karena ada satu dan lain hal akhirnya rumahku sendiri belum bisa aku tempatin.

Long story short, aku tinggal di rumah saudaraku tapi aku tidak memiliki kamar sendiri. Barang-barangku tercecer, hanya ada satu space di lemari keluarga itu yg bisa aku masukin baju-bajuku. What more tidurku berpindah - pindah, kadang di depan TV, kadang nyumpel bertiga di kamar, kadang jika sudah diambang batas capek dan pengen sendiri, aku harus berani menginvasi satu kamar lain dan mematikan lampu dari sore. Dan drama - drama lain yang tidak bisa aku jelasin satu satu. Do I blame them for that? oh tidak, aku tidak menyalahkan kondisi keluargaku dan sangat menerima keadaan dirumah, walaupun aku strunggling bukan main (definisi struggle dari setiap orang beda-beda ya, don't judge). 

Pada saat itu, aku sering mempertanyakan kenapa energiku terkuras banyak. Bahkan aku sampai tidak bisa membayangkan plan hidup selanjutnya bakal gimana karena semuanya terlihat blurry. Hingga akhirnya datang tahun 2020 dengan segala surprisenya. Dari pertengahan bulan Februari aku sudah bolak-balik Pacitan-Madiun-Bojonegoro karena urusan pekerjaan. Mulai awal Maret aku menetap di Pacitan karena harus mendampingi team yang sedang ada project disini untuk dua minggu. 

Tepat saat dua minggu itu berakhir dan aku belum sempat balik ke Madiun, kondisi penyebaran virus sudah semakin mengkhawatirkan. Akhirnya diberlakukan sistem lockdown. Seluruh sekolah libur, kantor-kantor mulai kerja dari rumah, jalanan di tutup, social distancing digalakkan, hajadan tidak boleh, travelling tidak boleh bahkan pergi ke tempat ibadah juga di batasi. Everything change immediately. Kehidupan manusia kayak sengaja di pause dengan hikmah yang masih kita raba - raba.

Kebiasaan hedonisme manusia berangsur - angsur tertutupi. Yang dulu sangat mendewakan resepsi pernikahan, maka dibuatlah orang-orang dengan ikhlas mau menerima acara yang mentok hanya di prosesi ijab qobul saja. Yang selalu upload foto saat travelling just because pengen di acknowledge orang banyak juga harus stop dulu karena kemana - mana dilarang. Yang biasanya keluar selalu pakai make up, dibuatlah semua orang hanya dirumah saja dan sangat meminimalisir penggunaan bedak, eyeliner atau gincu. Yang dulunya bisa dengan bangga keluar rumah memakai atribut kantornya juga sekarang hanya bisa bekerja dari rumah, bahkan tapa memakai atribut apapun, tanpa ada yang perlu dibanggakan dengan semua hal yang berstatus titipan. Dibuatnya kita tampil senormalnya manusia. Bahkan yang (sorry to say), mungkin melihat pencapaian tertinggi ibadah adalah berdasar foto instagram berlatar belakang ka'bah, kini hubungan manusia dan Tuhan memang dikembalikan pada hal yang paling sederhana, tanpa harus digembar - gemborkan supaya di akui sebagai umat yang paling taat.

Seperti disuruh berhenti dan istirahat, diminta ngaso dulu dari rutinitas melelahkan yang mungkin sempat melenakan. 


Comments

Popular Posts